Jumat, 21 Februari 2014

LESU GOLO "Unik tiada tara, Man!"

Sebenarnya sharing ini sudah sangat telat buat dibagi sama teman2, karena kegiatan kami ini sudah kami adakan akhir Nopember 2010. Tapi gak apa2lah dari pada tidak dibagi sama sekali...ntar saya dibilang pelit berbagi lg..hehehehe

PERENCANAAN

Nama Lesu Golo bagi beberapa org Ende Lio  cukup familiar. Sebagai org Lio sayapun sudah pernah dengar nama itu. tapi coba ditanya: apa itu Lesu Golo??"Plakkk!!!" tepuk jidat n berpura2 mikir. saya yakin semua pada bingung mau menjelaskannya dari mana. Palingan yang saya tau  lesu Golo itu nama tempat dengan keunikan panas buminya..hanya itu sa yg saya tahu.Dari sedikit pengetahuan  itulah kami mencoba mencari informasi selengkap2nya mengenai Lesu Golo.Informasi pertama saya peroleh dari senior saya di kantor, sebuat saja namanya Pak Krispin. Beliau pernah sekali ke Lesu Golo dalam rangka survey Objek wisata baru kabupaten Ende. Dengan bersemangat beliau menantang saya "Ke sanalah, Herr!!Rugi kalau ngaku suka bertualang tapi gak berani ke sana!!!"Wowww, naluri liarku tertantang.."apa untungnya ke sana???". "Tapi medannya berat Om, kalau gak kuat jalan mendingan duduk manis depan televisi n memelototi sinetron dari pada merepotkan teman2 seperjalanan!"begitu kata pak Krispin.Tantangan pak Krispin n sedikit informasi mengawali Perjalanan liar pertamaku di Flores.  Pengalaman pertama karena walaupun sebagai orang asli Flores saya tidak pernah masuk keluar hutan atau menyusuri sungai di Flores. Dunia alam liar hanya sedikit kualami waktu kuliah di Malang dulu. Palingan ke bukit panderman atau kemping di air terjun2 di seputaran Malang.
Singkat cerita saya memiliki gambaran mengenai Lesu Golo...Langkah berikut mencari personil yang mau gabung, yang tentu saja mereka harus sama gilanya seperti saya.  sy tidak kesulitan menghimpun personil karena sy tergabung dalam InCitA(Insan2 peCinta Alam) yang berbasis di Detusoko- sebuah kota kecamatan di Ende. Raztanuz dan Wilfriduz-2 anggota Incita menyatakan ikut ke lesu Golo.Telepon dr saudara Ferdinand juga mengisyaratkan kalau beliau  akan turut serta, sms dari sodara Andy Ceme mengiyakan tawaranku..5 orang gila siap ke Lesu Golo!!
Pemantapan perencanaan dilaksanakan 3 hari sebelum keberangkatan. Persiapan logistik n kebutuhan selama perjalanan dimantapkan. Fisik dipersiapkan, mental sudah ditempah oleh kerasnya alam Flores.  Tak ada kendala yg berarti.


HARI    H

Jam di tanganku sudah menunjukan pukul 9.00 Wita. Sekretariat Incita masih lengang. Hanya diriku dan ransel kumal yang menunggu kedatangan teman2. Dalam hati ada kerisauan "ah, jangan2 rencana ini batal?masa mereka belum ada yang datang?" 10 menit berlalu..20 menit beranjak..Handphone di saku celanaku bergetar. "Bro, kami sudah di Wolofeo!" sms dari  saudara Ferdinand melegakan hati. Itu berarti sepuluh menit lagi mereka akan sampai. Artinya saudara Andy Ceme dipastikan ikut.. Segera kutekan tuts handphone mengecek keberadaan Raztanus dan Wilfridus "Sebentar lagi bro!kami sudah dalam perjalanan!"jawab Raztanus.Sesuatu yang dikuatirkan tidak terbukti. Mereka sebentar lagi pasti akan nongol.Lima belas menit berlalu. Ferdinan  meneriaki namaku dari atas jalan.lalu menuruni beberapa anak tangga menuju sekretariat.Andy masih sibuk dengan kamera digitalnya, hanya separuh tangannya yang nampak jelas dari tempat saya duduk..
Jam 09.50 Rastanus n Wilfrid nongol dengan sejuta kata maaf karena terlambat dr waktu yang ditentukan. Pengecekan kelengkapan diadakan saat itu juga. Semua yang ada di list semuanya sudah komplit. Tinggal beli 2 ekor ayam buat lauk nanti malam. Ini menu wajib di tengah hutan Lesu Golo.
Jam 10.15 rombongan beranjak menuju Lesugolo.Tiga sepeda motor dan 5 orang gila berarak meninggalkan Detusoko, belok kiri ke arah Detukeli,membela hutan Kaju Ndara.Andy Ceme tetap sibuk dengan kameranya, Wilfridus bernyanyi2 kecil sementara Ferdinand full konsentrasi dengan kondisi jalan yang tidak mulus.
wajah2 penasaran

Sesekali kami berhenti ketika memasuki kawasan dengan pemandangan indah. Selanjutnya bisa ditebak, aksi foto narsispun berjalan tanpa dikomandoi. Masing-masing orang merasa dialah yang paling ganteng dan punya bakat fotogenik+layak difoto.
Jalan desa tanpa aspal sepuluhan kilometer mengantar  kami ke sebuah kios. “Ratu Hevi” nama kios itu. Kami memarkirkan sepeda motor dan melemaskan badan. Beberapa anak kampung mendekat, memandangi kami penuh tanda tanya. Mungkin mereka merasa aneh dengan Raztanus dengan rambut  gimbal ala masyarakat Jamaica atau dengan tampang saya yang sepintas mirip Glen Fredly(hehehehe sombong nian diriku). Kami sempat berbincang dengan bapak pemilik kios tentang Lesu Golo. “Tidak terlalu jauh Pak kalau ke Lesu Golo, sekitar dua jam jalan kaki!”begitu kata si bapak. Tapi saya agak sangsi karena kata ‘tidak  terlalu jauh’ dan “2 jam’ sangat tergantung pada subyek yang menjalaninya. Bisa saja akan menjadi sangat jauh dan sangat lama buat ‘orang kota’ seperti  kami..(hehehehehe)
Setelah belanja beberapa barang kebutuhan n 2 ekor ayam, kami melanjutkan perjalanan ke rumah kepala desa Nida di dusun Nuamuri.  Raungan tiga sepeda motor mengagetkan sunyinya dusun. Nampak wajah-wajah heran dari dalam rumah.
Dengan mudah kami bertemu kepala desa dan menyampaikan maksud  kedatangan kami. Rupanya birokrasi  yang kompleks tidak terjadi di Nida. Atas saran bapak kepala desa kami ditemani seorang pemuda dengan perawakan kecil yang belakangan kami tahu namanya Nimus. Setelah menyeruput habis kopi Nida, kami pamit. Arloji di tanganku menunjukkan pukul 13.05 wita. Artinya sekitar pukul 15.05 kami akan sampai di Lesu Golo. Masing-masing orang dengan bawaannya sendiri. Tapi yang paling full pikulannya adalah saudara Wilfriduz. Dia harus bertanggungjawab atas kemah dan ransum. Belum lagi 1 ekor ayam diikatkan pada ranselnya.
Bunga Langkah

Baru keluar kampung seratusan meter kami temui sejenis bunga unik berwarna ungu. Sepintas seperti bunga raflesia arnoldi yang pernah kulihat dalam buku pelajaran semasa sekolah dulu. Kembali aksi fotopun berlangsung. Kali ini sang bunga ungu yang jadi obyek.
Capek tp masih sempat narsis!
Perjalanan dilanjutkan. Langkah kaki masih gagah. Lututpun masih tegak berdiri menahan beban. Medan yang dilalui masih datar, ada ladang dan pondok masyarakat yang terlihat. Setengah jam perjalanan, kami berhenti sejenak di bawah pohon asam tua. Di depan kami tergambar jelas medan menanjak seratusan meter yang harus kami taklukan. Air mineral kemasan sudah berkurang dari botolnya. Isinya sedikit demi sedikit pindah ke usus dan lambung yang empunya.
Tanjakan pertama mau tak mau ditempuh. Tidak ada pilihan lain. Itu jalan satu-satunya ke Lesu Golo. Saya berjalan paling belakang, biar bisa leluasa memotret teman-teman tanpa mereka ketahui. Beberapa kali kami harus beristirahat di tengah tanjakan, mengipas-ngipas badan atau mengelap keringat yang mulai bercucuran. Dua puluhan menit mendaki sampailah kami di sebuah ladang yang rata. Ladang ini ditanami jagung oleh pemiliknya. Ada juga pohon jambu mente  dan pepaya dengan buah yang sudah masak di seberang sana. Kami memutuskan untuk istirahat lagi, persis di depan sebuah pondok. Beberapa warga lokal menyapa kami dengan ramah, keramahan yang tulus tanpa ada intrik. Ada yang menawari kami air, ada yang menawari kami pisang masak.
..diskusi tentang kehidupan..
Semuanya diterima dengan tangan terbuka (mumpung ada yang enak, bro!”) Sepasang petani menawarkan kami beristirahat di pondoknya “ada jagung muda di sana, Pak!’ tapi kami tidak bisa menerima tawaran tulus itu. “Biarlah cukup disini saja, Om!kami harus sampai di Lesugolo sebelum sore!”jawabku sambil mengangkat ranselku yang beratnya sekitar 30-an kilogram. Setelah diskusi sama istrinya, bapak itu memutuskan untuk ikut bersama kami ke Lesugolo. Malahan dia menugaskan seorang remaja tanggung membantu membawakan tenda yang sejak tadi di pundak wilfriduz. Maka jadilah kami bertujuh dalam ziarah ke Lesugolo. Perjalanan dilanjutkan. Rasa lelah berkurang setelah beristirahat tadi.  Om Arnold, nama bapak itu, mulai bercerita tentang Lesugolo. Katanya rombongan kami merupakan rombongan kesekian yang datang ke Lesugolo. Tapi kami adalah rombongan ‘orang luar’ pertama yang ke Lesugolo hanya untuk berekreasi dan treking. Mereka yang sebelumnya datang dengan misi ilmiah dan mulia. Ada yang mengadakan penelitian panas bumi untuk pembangkit listrik, ada yang mengadakan survey buat lokasi wisata unik. Tapi ada juga yang bombastis menjanjikan jalan aspal mulus membelah kebun ke Lesugolo, bahkan janji kereta gantung antar bukit untuk memudahkan mobilisasi. Kami manggut-manggut saja. Tidak bisa berpikir lagi karena fisik mulai drop. Dalam hati saya terenyuh. Kasihan warga dikasih janji-janji surga.
Kami memilih sebuah pondok petani untuk beristirahat. Sepertinya ini pondok terakhir sebelum kawasan lesugolo. Om Arnold yang ramah menunjuk arah lembah yang harus kami lewati sebelum masuk Lesugolo. “sebentar lagi akan sampai,pak!” kata om Arnold datar.  Rastanuz meminta izin sama om Arnold mengambil beberapa batang tebu untuk dimakan sebagai pengusir rasa dahaga.”ambil saja, pak! Itu milik kita. Ini kebun saudara saya!” Rastanuz dengan lincahnya mengambil 3 batang tebu. Cukup buat rombongan yang memang lagi haus.
Jalan terjal dan menurun menuju lembah. Ini menjadi lebih sulit karena otot hamstring harus menahan beban. Untung tidak seberapa jauh. Di depan kami sudah terlihat sungai dengan airnya yang jernih. Sungai ini unik karena mengalir di dua sisi cadas yang menyerupai selokan.
selokan cadas..
Airnya tenang dengan sedikit riakan. Kami melintasi cadas memanjang dan kembali melompat di ujung cadas. Sungai yang tenang tadi kembali mengalir deras dan melebar. Persis sebelah kiri kami melangkah ,ada bukit cadas setinggi duapuluhan meter, membuat saya merasa ngeri kalau terjadi gempa bumi tiba-tiba. Tapi kekuatiran itu ditepis jauh-jauh. Karena kematian adalah sepenuhnya milik Tuhan, kita manusia hanya mengisi hidup dengan berbuat baik.
Seratusan meter kami menyusuri sungai. Kami akhirnya sampai di Lesugolo-tempat menyemburnya air panas bumi dari dua buah batu. Jam menunjukan pukul 17.10 wita. Artinya perjalanan kami memakan waktu 4 jam lebih 5 menit. Terbukti kalau perjalanan ini menjadi lebih panjang buat ‘orang kota’ seperti kami. Tidak apa-apa karena kami tiba dengan selamat di lesu Golo “makasih Tuhan!!”
Lesugolo...air panas bumi yang menyembur dari sebuah batu
Beberapa bawaan kami taruh di pinggir kali. Hanya tas kamera yang dijinjing. Semua mendekat di seputaran semburan. Kali ini aksi selfies alias foto diri semakin menjadi-jadi. Om Arnold, Nimus dan si remaja tanggung hanya tersenyum melihat aksi para artis dadakan. Lesu golo adalah nama yang umum buat lokasi panas bumi ini. Tapi sebenarnya terdapat dua lokasi semburan air panas. Yang pertama Lesugolo sendiri dan Watu Sombolou. Lesugolo letaknya di dalam sungai, dengan batu setinggi sekitar 75cm yang menyemburkan air panas. Sedangkan Watu Sombolou merupakan batu cadas besar yang juga dari dalamnya keluar air panas. Letak kedua batu ini tidak berjauhan. Temperatur air sekitar 40 derajad celcius.
Watu Sombolou dengan semburan air panasnya
Setelah puas foto-foto, kami mencari lokasi buat kemping. Hanya ada satu lokasi yang datar yang bisa kami dirikan kemah. Itupun hanya pas buat dua kemah yang kami bawa. Tenda didirikan di atas pasir kali, sangat riskan kalau tiba2 ada angin. Yang bertugas menyiapkan makan malam mulai beraksi. Ada yang cari kayu bakar buat panggang ayam, ada yang masak air buat minum sore.
Malam menjelang di Lesugolo, kopi sore sedang diseruput. Batang demi batang rokok habis diisap. Kami duduk melingkar di tengah api unggun, bercerita tentang perjalanan dan keunikan Lesugolo. Tidak ada canggung dan segan, tidak ada jarak dan perbedaan harkat diantara kami. Semua menyatu dalam satu semangat menyayangi alam. Dalam kebersamaan itu ada pertanyaan kritis yang terucap:”sampai kapankah potensi ini dibiarkan tidur lelap?” Om Arnold, Nimus dan semua warga desa merindukan Lesugolo dikelolah secara baik, dimaksimalkan potensinya untuk kehidupan manusia dan akhirnya dirasakan oleh warga sekitar. Sepertinya pesan ini dititipkan pada kami yang akan pulang ke kota atau yang diyakini punya relasi dengan orang Jakarta sana. Tapi saya malah takut kehilangan keaslian Lesugolo. Takut dirusak oleh buldozer yang membuka jalan atau oleh kereta gantung yang dijanjikan bigboss dari jakarta sana. Saya dan om Nimus rupanya berbeda pendapat mengenai potensi Lesugolo. Buat saya biarkan Lesugolo diselimuti kesunyiannya seperti saat ini dan menunggu kunjungan dari mereka yang tahu menghargai karunia Tuhan, tidak perlu dirusak dengan alasan energi alternatif dari kerak bumi yang membara. Cerita kami berlanjut..semakin tajam dengan satu dua tetes arak lokal dan ayam panggang. Waktu berlalu..Tak disangka sang kantuk memanggil tubuh yang letih ke kemah, merebahkan diri dalam selimut kesunyian..
Embun pagi menyapa mengakiri mimpi malamku yang tak utuh. Pagi ini kami mandi di Lesugolo. Makan pagi dan packing menjadi aktivitas terakhir. Kami pulang dalam suasana suka cita. Tidak saja karena liarnya alam Lesugolo bisa ditaklukan tapi karena kami diberi kesempatan untuk merasakan indahnya karunia sang khalik. Selamat tinggal keunikan, sampai ketemu di hari mendatang.
Foto Bareng


* Rute ke Lesu Golo: Ende-Wologai-Detukeli-Nida(dusun Nuamuri) Jarak sekitar 60km

* Kategori: hard trekking




.

2 komentar:

  1. Eja. terima kasih telah memperkenalkan Lesu Golo. Salah satu foto munculnya panas bumi yang dinamakan Lesugolo, sekarang hanya jadi kenangan... karena waktu saya berkunjung ke Lesugolo hari selasa, 6 Oktober 2015, tempat tersebut sudah kering. Menurut cerita penduduk di sekitar lokasi, tempat tersebut mulai hilang karena dieksplorasi untuk Panas Bumi. Pertanyaannya, apakah Lesugolo termasuk panas bumi atau "PUSAT DUNIA" menurut tutur Mosalaki....

    BalasHapus
  2. Lihat kembali bro batas ulayat.Secara garis besar saja tata ruang wilayah Administrasi Pemerintahan Lasugolo berada di tengah kali berupa batu yang mengeluarkan air. Pada tanggal 12 Desember 1992 batu yang mengeluarkan air itu patah dan tetap mengeluarkan namun semakin hari semakin menghilang dan skrg kalau boleh dikatakan Lasugolo itu ada dalam bentuk SOMBULOU yang secara kasat mata ini adalah sebuah Anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Saat ini "The Bets Panorama"itu ada pada SOMBULOU yang masuk dalam wilayah Desa Ndikosapu Kecamatan Lepembusu Kelisoke Kabupaten Ende Indonesia. Singkat saja letak geografis Desa Ndikosapu,Utara berbatasan dengan Desa Nida dan desa Rangalaka yang dibatasi langsung dengan lowo Unggu, selatan berbatasan Desa Mukureku Sa Ate dan Mukureku kec. Lepembusu, Barat berbatasan dengan Desa Kanganara dan Desa Unggu Kec. Detukeli,Timur berbasatasan dengn desa Kuru Sare dan kuru kec. Lepembusu Kelisoke. Terhadap wilayah ulayat Adat, Desa Ndikosapu adalah Wilayah Unggu yang secara hierarkinya jelas ada.

    Mari berdiskusi terlebih dahulu sebelum kita menulis terhadap sumber yang sebenarnya, terutama pada sejarah yang tidak tertulis.

    BalasHapus