Kamis, 27 Februari 2014

Ke Danau Kelimutu? COBALAH JALUR MENANTANG INI!!

Danau Kelimutu, foto tgl 24 Juli 2011



Kelimutu dengan tiga danaunya yang unik tentulah menawarkan keindahan luar biasa. Bahkan menurut sebuah portal berita online, Danau Kelimutu merupakan salah satu spot terbaik di Indonesia untuk menyaksikani sun rise. Biasanya wisatawan akan rela bangun pagi dan mengabaikan rasa dingin demi menyaksikan sun rise. Wisatawan yang akan ke Kelimutu menggunakan mobil atau sepeda motor carteran. Jam 4 pagi ke puncak dan kembali ke Moni setelah puas menyaksikan keindahannya. Tidak jarang juga wisatawan memilih pulang dengan berjalan kaki sambil mengunjungi beberapa objek wisata di seputaran Moni seperti sawah Waturaka, air terjun Murundao atau mandi dan relaksasi di air panas Kolorongo dan Liasembe.
Danau Kelimutu, foto diambil tgl. 3 Maret 2009
Jalur itu sudah lazim yang menjadi pilihan wisatawan dan merupakan jalur yang sangat mudah menuju danau Kelimutu. Sebagai penikmat treking dan hiking, jalur super gampang ini tidak perlu disharingkan.  Buat penggila trekking ada jalur lain yang bisa anda tempuh kalau mau ke Kelimutu. Saya jamin adrenalin anda akan terpacu dan sensasi yang anda dapatkan akan ‘lebih’ dari pada jalur lazim tadi.


Yang harus dipersiapkan sebelum hari keberangkatan antara lain: siapkan fisik dengan latihan ringan seminggu sebelumnya, gali informasi mengenai jalur ini (pada pihak Taman Nasional Kelimutu), lengkapi bawaan anda selengkap-lengkapnya karena anda akan bermalam di tengah hutan9kalau memang berencana mau kemping dalam kawasan), dan tentu saja anda harus siapkan mental anda!!
Embung Sokolo'o di kala senja. Dari sisi telaga ini titik start anda!
Perjalanan dimulai dari dusun Resetlement/ Bumi Perkemahan Wologai. Anda wajib mengisi tempat air anda di sini karena sepanjang jalur ini anda akan kesulitan mencari mata air. Kalau memilih untuk kemping dalam kawasan, Anda  bisa menyewa perlengkapan outdoor di rumah saudara Arnold di dusun Resetlement. Perlengkapan yang bisa disewa antara lain tenda, sleeping bed, lampu dan matras.Harga sewanya juga sangat terjangkau.
Dari tanah lapang bumi perkemahan ambil jalur kiri. Anda akan melintasi ladang/ kebun milik penduduk. Setelah kebun penduduk anda harus mendaki sebuah bukit dengan pemandangan yang menawan.
Istirahatlah di ketinggian ini!!
Dari puncak bukit anda bisa melihat barisan bukit Wologai, Wolo Ekoleta dan Nduaria, embung Sokoloo dan puncak Lepembusu.  Istirahatlah sejenak di puncak bukit ini! Rasakan keindahannya.O ya, lokasi ini juga dipakai penduduk untuk mengikat ternaknya jadi jangan heran kalau sekawanan sapi atau kerbau menjadi teman istirahatmu.




Bermalam di pasar Do...api unggun menghangatkan
Setelah merasa segar lanjutkan perjalanan. Anda akan memasuki kebun kopi yang lumayan luas. Ini kebun terakhir milik penduduk sebelum masuk ke hutan Taman Nasional Kelimutu. Di batas hutan dan kebun kopi inilah  anda akan melihat dengan jelas jalur treking yang sudah tersedia. Selanjutnya hutan ampupu dan semak tinggi akan menjadi pemandangan yang dominan. Sekitar satu jam anda berkutat dengan jalur menanjak. Jalur ini cukup menguras energi, jadi anda disarankan lebih sering istirahat. Setelah tanjakan dan turunan pertama anda memasuki kawasan dengan kontur rata yang dinamai  Pasar Do. Kawasan ini dinamakan pasar Do karena dari cerita penduduk lokal, di abad yang lalu kawasan ini adalah sebuah pasar tradisional. Masyarakat dari Nduaria dan Lise mengadakan transaksi dengan masyarakat Detusoko di lokasi ini. Anda bisa bermalam di Pasar Do yang dikelilingi oleh hutan ampupu. Bagi penikmat suara burung ini tempat yang tepat.
Di sisi danau Ata Bupu..siap2 menuju tugu!
Dari pasar Do anda melanjutkan perjalanan sekitar satu jam ke Melo. Medannya sedikit menanjak. Melo juga kawasan yang pas untuk mendirikan tenda. Signal handphone juga masih bisa ditangkap di Melo. Setelah Melo anda masuki Hutan Tua. Dinamakan hutan tua karena dilokasi ini terdapat  pohon-pohon besar berusia ratusan tahun. Hutan ini agak lembab dan tertutup. Turuni lembah/ kali mati di dalam hutan tua dan ikuti jalur kiri. Setelah berjalan sekitar satu jam anda memasuki padang rumput dengan sedikit pohon cemara. Ikuti terus punggung bukit  yang berujung pada jurang yang bisa dituruni dengan hati-hati. Dari ujung bukit anda sudah bisa melihat kawasan danau. Perlu ekstra waspada melewati jurang ini. Ini lokasi tersulit!! Walaupun terbilang curam, tapi saya yakin titik ini bisa ditaklukan. Kalau anda bisa melewatinya anda akan langsung berada di pinggir danau Ata Bupu-danau yang paling barat. Itu artinya anda tinggal selangkah menuju shelter/ tugu Danau Kelimutu. Berlangkahlah dengan hati-hati, karena jalur menuju tugu merupakan jalur sempit dengan jurang di kanan kiri. Sampai di Tugu jangan lupa berdo’a karena perjalanan anda sudah dilindungi-Nya!

Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melalui jalur ini:
1.     Koordinasikan rencana anda dengan pihak Taman nasional Kelimutu
2.     Siapkan fisik dan mental
3.     Siapkan makanan, minuman dan obat-obatan selama perjalanan
4.     Pakai sepatu gunung dengan sol bergerigi atau sepatu boot militer.
5.     Musim kemarau merupakan waktu yang tepat untuk melewati jalur ini.
6.     Handphone dengan pulsa dan batrey secukupnya
7.     Kalau masih ragu ajak warga lokal di dusun Resetlement atau guide dari Taman nasional Kelimutu

 Lama perjalanan sekitar 5 jam
 Kategori:  hard trekking

Senin, 24 Februari 2014

TIWU SORA "pesona Ende selain Kelimutu"

Tanpa disadari pertanyaan yang paling sering muncul dalam kehidupan manusia ialah “benarkah?” Manusia sering heran. Manusia juga selalu ragu-ragu. “Benarkah orang Moni(Kelimutu) pandai bahasa Inggris?” atau “Benarkah tulisanku bagus?” Ternyata dalam setiap pertanyaannya manusia mau menuju kebenaran. Kebenaran selalu dinantikan oleh setiap pertanyaan.


“Benarkah Danau Tiwu Sora itu ada??”

Pertanyaan di atas buat sebagian orang merupakan pertanyaan konyol, apalagi buat teman-teman pembaca yang mungkin berasal dari daerah sekitar danau ini. Tapi jujur saja, sebenarnya sejak 30-an tahun lalu pertanyaan ini selalu terbersit dalam hati penulis. Masih terngiang cerita almarhumah ibuku yang penuh semangat menceritakan kehidupan sekitar tahun 60-an. Saat masih gadis, ibu tergabung dalam kelompok Muda Mudi Katolik Gereja Wolowaru. Kelompok ini sangat aktif dalam kegiatan Gerejaw. Pernah dalam sebuah kegiatan, kelompok ini beranjangsana ke Detuara. Mereka mementaskan drama “Legenda Tiwu Sora” dan membawakan koor di Gereja Detuara. Detuara di era itu merupakan pusat Paroki/Gereja lokal yang berkembang pesat. Tapi anda jangan membayangkan mereka dengan mudanya ke Detuara. Perjalanan ke Detuara merupakan perjalanan yang sulit. Akses ke sana hanya melalui jalur tikus. Tidak ada jalan raya. Mereka harus melintasi bukit demi bukit, menyusuri sungai berpacet dan terbenam di dasar lembah. “Berangkat jam 4 pagi dari Wolowaru dan tiba di Detuara sore hari”  begitu cerita almarhumah. 
Walau perjalanan itu sulit tapi membekas dalam kenangan ibuku. Mungkin karena masa SMA adalah masa paling indah, atau mungkin karena alasan lain, hanya ibuku yang tahu! Waktu berlalu. Ibuku tak pernah menjelaskan secara detail Legenda Tiwu Sora yang mereka pentaskan. Padahal saya sangat ingin mengetahui seperti apa legenda itu. Bahkan saya meyakini kalau Danau Tiwu Sora itu hanya sebatas legenda usang dari para leluhur suku Lio. Saat itu Danau Tiwu Sora bagiku antara ada dan tiada. Ada nama dan legendanya tapi tiada pembuktian kuat yang kasat mata.


Detuara, 5 Desember 2010 

Rencana perjalanan dimulai tanggal 5 Desember 2010. Pak Krispin-seniorku di kantor Dinas Pariwisata Kabupaten Ende  menjemput saya di kolam pemandian air panas Ae Oka Detusoko. Ikut pula Pak Dafro, seorang teman guru merangkap guide. Jadilah kami bertiga menuju Detuara. Misi kami di hari minggu itu adalah mengadakan survey kecil tentang danau Tiwu Sora. Akses ke Detuara sekarang tentu berbeda dengan era tahun 60-an. Saat ini sudah ada jalan yang digusur pemerintah sekitar tahun 80-an. Tapi jalan itu hanya dibiarkan begitu saja, tidak ada peningkatan sama sekali. Tidak tahu alasannya kenapa. Makanya janganlah kaget menghadapi jalan sempit yang mirip kubangan kerbau atau batu sekepalan tangan berserakkan disana sini. Pengendara wajib ekstra hati-hati karena jurang dalam di kanan kiri. Yang membuat kita terhibur hanyalah pemandangan alam pegunungan  hijau, yang secara tidak langsung membuat kita lupa pada jalannya yang berbahaya. 
Dua sepeda motor sampai di desa Rate Nggoji. Suasana desa ini sunyi karena penduduknya masih di gereja. Kami memarkirkan sepeda motor dan berjalan kaki ke Detuara. Jaraknya sekitar 2 km. Sampai di desa Detuara kami menuju rumah kepala desa yang persis berada di pinggir kampung. Beliau menyambut kami dengan sangat ramah. Berbagai informasi digali dan diperoleh dari pertemuan singkat dengan sang kepala desa. Informasi sudah diperoleh. Kami harus segera pamit sebelum senja menjemput malam.


Mendung dan hujan jadi teman perjalanan

Hari itu 10 Desember 2010, seperti biasa sekretariat Incita menjadi titik awal perjalanan kami. Tapi kali ini semuanya di luar prediksi. Sabtu pagi itu cuaca sedang mendung berat. Hujan diyakini akan segera turun karena awan hitam terlihat semakin tebal. Beberapa teman yang mau ikut pun belum memastikan kembali partisipasinya ke Tiwu Sora. Saya mencoba menghubungi nomor hp mereka tapi hanya nomor pak Krispin dan pak Dafro yang tersambung. Mereka akan segera menuju Detusoko. Diperkirakan satu jam lagi mereka merapat. Sedangkan handphone Ferdinand, Wilfriduz, Andy dan Carlos masih sibuk dan susah dihubungi. Jam 09.00 waktu yang direncanakan untuk memulai perjalanan ke Detuara dan selanjutnya ke Tiwu Sora. Kami harus lebih cepat sampai ke Detuara karena jarak yang lumayan jauh dari Detuara ke Tiwu Sora. Pak Krispin dan Pak Dafro tiba tepat jam 09.00 wita sedangkan empat teman yang lain datangnya belakangan. Semua menenteng perbekalan dan kelengkapan outdoor. Biar bagaimanapun faktor keselamatan dan kenyamanan di alam menjadi hal utama buat kami. Setelah pengecekan barang2 yang wajib dibawa, rombongan meninggalkan sekretariat Incita, menarik gas menuju Detuara yang berjarak sekitar 20-an kilometer dari Detusoko. Cuaca masih mendung, sesekali gerimis turun menghiasi perjalanan kami. Jas hujan terpaksa dikeluarkan dari ransel ketika memasuki dusun Kuruselo Desa Denggarongge. Hujan turun dengan sangat deras, membuat jarak pandang semakin terbatas. Kami terus memacu si bebek. Melintasi jalan berlumpur dan jembatan dengan lubang dimana-mana. Sesekali kami berpapasan dengan para tukang ojek yang mengantarkan penumpang atau hasil bumi. Kondisi jalan yang buruk dan medan yang beresiko membuat harga sewa ojek menjadi mahal. Dari cabang Sokoloo ke Detuara harga ojek bisa mencapai Rp 75.000 dan menjadi lebih mahal kalau si penumpang membawa barang belanjaan. 
Jam 13.30 wita kami sampai di Ratenggoji, desa terakhir sebelum Detuara. Perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Sepeda motor kami titipkan di rumah warga. Anda tidak perlu risau dengan sepeda motor anda, karena warga disini tidak biasa menjahili orang. Tamu yang datang selalu disambut baik layaknya keluarga sendiri begitupun barang yang dititipkan akan selalu dijaga. Itulah kearifan lokal yang harus dijaga.


Menuju Tiwu Sora

Desa Detuara
Sekitar pukul 14.15 kami sampai di rumah kepala desa Detuara. Kami disambut sapaan ramah ibu kades dan beberapa warga desa. Desa ini terlihat lengang, hanya ada beberapa orang warga yang beraktifitas di depan rumah. Dari keterangan pak kades akhirnya kami tahu bahwa berkurangnya jumlah warga karena terjadinya perpindahan penduduk. Warga eksodus untuk mengubah nasib.  Kami beristirahat sekitar dua jam di rumah pak kades. Kami juga menyempatkan diri makan siang bersama keluarga besarnya (makasih pak kades!)
perjalanan dimulai
Jam 16.00 kami memulai perjalanan ke Tiwu Sora. Menurut pak kades, jarak Detuara-Tiwu Sora sekitar 20 km. Hmmmmm, Jarak yang lumayan jauh dengan kontur yang beragam. Saya tidak memikirkan jarak itu tapi bagaimana menjaga stamina dan langkah biar tidak cepat lelah. Ada juga kekuatiran karena hari sudah sore, bisa-bisa kami harus bermalam di tengah hutan yang belum pernah kami kenal. Sekitar satu kilometer perjalanan, kami harus mendaki sebuah bukit dengan kemiringan sekitar 80 derajad. Belum lagi harus tiarap karena ada pohon besar yang tumbang. Satu demi satu dari kami bisa menaklukan bukit pertama. Dari ketinggian kami bisa memandang Desa Detuara yang dikelilingi bukit-bukit dan hutan kemiri.
istirahat sejenak
Kami beristirahat sejenak di sebuah dusun, Wolowaru namanya. Dusun kecil itu hanya dihuni beberapa kepala keluarga. Mereka rata-rata petani kemiri. Setelah dirasa cukup istirahatnya, kami melanjutkan perjalanan. Kontur yang kami lalui masih datar-datar saja. Senda gurau dan ketawa-ketiwi jadi hiasan wajib perjalanan panjang kami.
Hari sudah mulai gelap. Senter dan lampu badai dinyalakan sebagai penerangan. Kami memutuskan untuk terus berjalan menembus pekatnya malam. Dari kontur yang datar masuk ke kontur menanjak, kembali ke kontur datar lalu masuk ke kontur menurun. Selalu seperti itu! Untung perjalanan kami dilakukan pada malam hari. Perjalanan malam itu kurasa lebih ringan karena stamina tidak dikuras teriknya matahari. Saya tidak bisa membayangkan kalau perjalanan kami ini dilakukan siang hari. Bisa-bisa semuanya pada mundur karena kelelahan.
Jam menunjukkan pukul 21.30. Beberapa dari kami sudah kelelahan setelah lima jam berjalan. Saatnya istirahat dan menyiapkan makan malam. Kebetulan ada lokasi di pinggir sungai yang pas untuk istirahat. Dua ekor ayam disembeli dan dibakar di atas bara api, nasi ditanak dengan lincah oleh Wilfriduz. 30 menit berselang hidangan makan malam sudah tersedia di atas daun talas. Makan malam yang berkesan, karena diterangi api unggun dan dihibur binatang malam..sungguh romantis malam itu.
Atas kesepakatan bersama kami melanjutkan perjalanan. Tapi kali ini hanya sekedar mencari lokasi yang pas untuk membentangkan kemah. Lokasi sekitar sungai bukan pilihan bijak untuk berkemah, apalagi di musim penghujan seperti ini. Setelah berjalan sekitar dua kilometer kami  menemukan tempat yang tepat buat mendirikan kemah. Kemah didirikan beralas rerumputan. Malam semakin larut, semua sudah masuk dalam kemah dan terbungkus sleeping bed yang hangat. Di luar sana terdengar suara guntur bersahutan..Tuhan, semoga malam ini tidak turun hujan!


Hari kedua: jalan menanjak ke Tiwu Sora

“ayo bangun-bangun. Sudah jam tujuh!!’ suara lengking Ferdinand mengagetkan semua. Jam menunjukkan pukul 06.00 wita. Skenario Ferdinand tidak mempan. Beberapa dari kami masih enggan keluar dari hangatnya sleeping bed. Saya putuskan membantu ferdinand menyiapkan breakfast. Pagi itu menunya sangat minimalis: ABC mocca dan mie kuah. Aroma mie kuah tercium tajam, semua pada keluar dari sarang mereka. Ada yang cari air buat cuci muka, ada yang langsung menyambar gelas plastik yang sudah berisi ABC mocca. Cuaca masih mendung tanpa sinar matahari. Ada sisa tetesan gerimis yang melekat di dinding kemah dan di dedaunan.
istana semalam
Semua sudah menikmati makan pagi minimalis. Tenda dan perlengkapan tidur kembali disusun rapi dalam ransel. Perjalanan ke Tiwu sora dilanjutkan tepat pukul 07.45 wita. Medan menanjak ketika kami meninggalkan lokasi kemah. Terus menanjak hingga sampai ke satu-satunya rumah di tengah hutan . Kami mengucapkan salam dalam bahasa Lio. Ada suara balasan dari dalam rumah. Seorang wanita paruh baya ditemani seekor anak anjing keluar dari rumah. Kami dipersilahkan duduk dibale-bale yang sekalian berfungsi sebagai kursi tamu.  Wanita itu bercerita kalau hanya dia, suaminya dan ibu mertuanya yang mendiami wilayah itu. Mereka terisolir dari dunia luar. Ke Deturia-desa terdekat-mereka harus berjalan kaki selama 3 jam, sedangkan ke Detuara mereka harus berjalan sejauh 7 jam. Luar biasa!! Tidak bisa saya bayangkan perjuangan mereka bertahan hidup. Terutama menghadapi situasi sulit tatkala sakit. 
Kami menitipkan ransel dan semua bawaan. Tak lupa semua perbekalan kami diberikan cuma-cuma untuk si penghuni rumah. Kami tidak bisa berlama-lama dirumah itu. Langkah harus dipercepat menuju Tiwu Sora. Jalan tanah basah menanjak menjadi warna tersendiri. Hutan dengan pohon sepelukan tangan memagari kami dari longsoran. 
Kami dibuat bingung ketika tiba di persimpangan menuju Deturia. Pak Dafro yang jadi ‘guide lokal’ tidak bisa menentukan arah ke danau Tiwu Sora. Jalur ini terakhir dilaluinya sekitar 30 tahun yang lalu, jadi wajarlah kalau beliau sudah agak lupa. Kami memutuskan memilih jalur kanan. Kalaupun nyasar pilihan satu-satunya adalah kembali ke titik awal . Kami memasuki tanah kosong tanpa pepohonan. Di seberang sana terlihat hutan lebat dengan pepohonan tinggi. “Di sana jalan masuknya! Tidak mungkin salah, Bro!”teriak pak Dafro. Artinya pilihan kami benar. Kami bersemangat, mempercepat langkah memasuki hutan perawan Tiwu Sora. 


Danau Tiwu Sora

Tiwu Sora itu Benar-benar Ada!!




Dua ratusan meter memasuki hutan, kami tiba di sebuah danau nan indah. Disinilah danau Tiwu Sora. danau dengan legenda usangnya. Danau seluas kira-kira tiga hektar itu diliputi suasana sepi dan diselimuti kabut. Yang terlihat hanya sekawanan bebek hutan yang bermain air dan suara monyet terdengar dari kejauhan. Ada perasaan lega, puas, syukur!
Pengorbanan jalan kaki sekitar delapan jam terbayar lunas sudah. Tiwu Sora memang benar-benar ada, tidak hanya sekedar cerita almarhumah ibuku kala kecil dulu. Cerita masa laluku terjawab. Keraguanku serta merta pergi dari pikiranku. Di hadapanku kini terbentang indah sebuah karunia maha pencipta. Karunia yang dibentengi legenda turun temurun.
Narsis dulu, bro!!
Kami mencari posisi untuk foto selfie dan foto bareng. Moment ini wajib diabadikan. Sayang sekali, perjalanan kami kali ini hanya membawa kamera handphone. Maklum, waktu itu diantara kami belum ada yang bisa beli kamera pocket, apalagi DSLR.
Air terjun orange
ketika kabut turun
Jam 10.45 wita, kami bergegas meninggalkan keangkeran Tiwu Sora. Perjalanan pulang delapan jam harus kami tempuh. Ada beberapa spot menarik yang kami jumpai. Satu diantaranya adalah air terjun kecil dengan dinding orangenya. Sayang sekali, batere handphoneku sudah lowbat sehingga beberapa spot menarik tidak bisa diabadikan.
Langkah semakin lelah. Otot-otot kaki terasa tegang. Rasa lapar menggerogoti sistem pencernaan. Tidak ada kios atau warung makan buat beli snack atau air mineral. Yang ada hanya jalan panjang di tengan hutan. Dalam rasa lapar dan lelah mendera,seorang mama yang berpapasan di jalan memaksa kami ke rumahnya di dusun Detunaka. Ajakan yang tidak bisa ditolak. Dusun ini tidak terlihat oleh kami semalam. “makasih Tuhan buat ketulusan mereka!makasih mama buat daging belut asapnya..."
sampai jumpa di perjalanan yang akan datang. salam rimba!!!!
Jam 18.05 kami memasuki Detuara dengan rasa lelah luar biasa. Untung tidak sempat pingsan! Total jarak yang ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 40 km dan waktu yang diperluhkan 16 jam. Lumayan berat medan ini! Jalur ini khusus buat pejalan sejati. Siapkan fisik anda! Rasakan sensasinya!!!




 * Rute: Ende-Simpang Sokoloo-Kuruselo/Denggarongge-Ratenggoji-Detuara- Wolowaru-Detunaka-Tiwu Sora

* Kategori: hard treking

Jumat, 21 Februari 2014

LESU GOLO "Unik tiada tara, Man!"

Sebenarnya sharing ini sudah sangat telat buat dibagi sama teman2, karena kegiatan kami ini sudah kami adakan akhir Nopember 2010. Tapi gak apa2lah dari pada tidak dibagi sama sekali...ntar saya dibilang pelit berbagi lg..hehehehe

PERENCANAAN

Nama Lesu Golo bagi beberapa org Ende Lio  cukup familiar. Sebagai org Lio sayapun sudah pernah dengar nama itu. tapi coba ditanya: apa itu Lesu Golo??"Plakkk!!!" tepuk jidat n berpura2 mikir. saya yakin semua pada bingung mau menjelaskannya dari mana. Palingan yang saya tau  lesu Golo itu nama tempat dengan keunikan panas buminya..hanya itu sa yg saya tahu.Dari sedikit pengetahuan  itulah kami mencoba mencari informasi selengkap2nya mengenai Lesu Golo.Informasi pertama saya peroleh dari senior saya di kantor, sebuat saja namanya Pak Krispin. Beliau pernah sekali ke Lesu Golo dalam rangka survey Objek wisata baru kabupaten Ende. Dengan bersemangat beliau menantang saya "Ke sanalah, Herr!!Rugi kalau ngaku suka bertualang tapi gak berani ke sana!!!"Wowww, naluri liarku tertantang.."apa untungnya ke sana???". "Tapi medannya berat Om, kalau gak kuat jalan mendingan duduk manis depan televisi n memelototi sinetron dari pada merepotkan teman2 seperjalanan!"begitu kata pak Krispin.Tantangan pak Krispin n sedikit informasi mengawali Perjalanan liar pertamaku di Flores.  Pengalaman pertama karena walaupun sebagai orang asli Flores saya tidak pernah masuk keluar hutan atau menyusuri sungai di Flores. Dunia alam liar hanya sedikit kualami waktu kuliah di Malang dulu. Palingan ke bukit panderman atau kemping di air terjun2 di seputaran Malang.
Singkat cerita saya memiliki gambaran mengenai Lesu Golo...Langkah berikut mencari personil yang mau gabung, yang tentu saja mereka harus sama gilanya seperti saya.  sy tidak kesulitan menghimpun personil karena sy tergabung dalam InCitA(Insan2 peCinta Alam) yang berbasis di Detusoko- sebuah kota kecamatan di Ende. Raztanuz dan Wilfriduz-2 anggota Incita menyatakan ikut ke lesu Golo.Telepon dr saudara Ferdinand juga mengisyaratkan kalau beliau  akan turut serta, sms dari sodara Andy Ceme mengiyakan tawaranku..5 orang gila siap ke Lesu Golo!!
Pemantapan perencanaan dilaksanakan 3 hari sebelum keberangkatan. Persiapan logistik n kebutuhan selama perjalanan dimantapkan. Fisik dipersiapkan, mental sudah ditempah oleh kerasnya alam Flores.  Tak ada kendala yg berarti.


HARI    H

Jam di tanganku sudah menunjukan pukul 9.00 Wita. Sekretariat Incita masih lengang. Hanya diriku dan ransel kumal yang menunggu kedatangan teman2. Dalam hati ada kerisauan "ah, jangan2 rencana ini batal?masa mereka belum ada yang datang?" 10 menit berlalu..20 menit beranjak..Handphone di saku celanaku bergetar. "Bro, kami sudah di Wolofeo!" sms dari  saudara Ferdinand melegakan hati. Itu berarti sepuluh menit lagi mereka akan sampai. Artinya saudara Andy Ceme dipastikan ikut.. Segera kutekan tuts handphone mengecek keberadaan Raztanus dan Wilfridus "Sebentar lagi bro!kami sudah dalam perjalanan!"jawab Raztanus.Sesuatu yang dikuatirkan tidak terbukti. Mereka sebentar lagi pasti akan nongol.Lima belas menit berlalu. Ferdinan  meneriaki namaku dari atas jalan.lalu menuruni beberapa anak tangga menuju sekretariat.Andy masih sibuk dengan kamera digitalnya, hanya separuh tangannya yang nampak jelas dari tempat saya duduk..
Jam 09.50 Rastanus n Wilfrid nongol dengan sejuta kata maaf karena terlambat dr waktu yang ditentukan. Pengecekan kelengkapan diadakan saat itu juga. Semua yang ada di list semuanya sudah komplit. Tinggal beli 2 ekor ayam buat lauk nanti malam. Ini menu wajib di tengah hutan Lesu Golo.
Jam 10.15 rombongan beranjak menuju Lesugolo.Tiga sepeda motor dan 5 orang gila berarak meninggalkan Detusoko, belok kiri ke arah Detukeli,membela hutan Kaju Ndara.Andy Ceme tetap sibuk dengan kameranya, Wilfridus bernyanyi2 kecil sementara Ferdinand full konsentrasi dengan kondisi jalan yang tidak mulus.
wajah2 penasaran

Sesekali kami berhenti ketika memasuki kawasan dengan pemandangan indah. Selanjutnya bisa ditebak, aksi foto narsispun berjalan tanpa dikomandoi. Masing-masing orang merasa dialah yang paling ganteng dan punya bakat fotogenik+layak difoto.
Jalan desa tanpa aspal sepuluhan kilometer mengantar  kami ke sebuah kios. “Ratu Hevi” nama kios itu. Kami memarkirkan sepeda motor dan melemaskan badan. Beberapa anak kampung mendekat, memandangi kami penuh tanda tanya. Mungkin mereka merasa aneh dengan Raztanus dengan rambut  gimbal ala masyarakat Jamaica atau dengan tampang saya yang sepintas mirip Glen Fredly(hehehehe sombong nian diriku). Kami sempat berbincang dengan bapak pemilik kios tentang Lesu Golo. “Tidak terlalu jauh Pak kalau ke Lesu Golo, sekitar dua jam jalan kaki!”begitu kata si bapak. Tapi saya agak sangsi karena kata ‘tidak  terlalu jauh’ dan “2 jam’ sangat tergantung pada subyek yang menjalaninya. Bisa saja akan menjadi sangat jauh dan sangat lama buat ‘orang kota’ seperti  kami..(hehehehehe)
Setelah belanja beberapa barang kebutuhan n 2 ekor ayam, kami melanjutkan perjalanan ke rumah kepala desa Nida di dusun Nuamuri.  Raungan tiga sepeda motor mengagetkan sunyinya dusun. Nampak wajah-wajah heran dari dalam rumah.
Dengan mudah kami bertemu kepala desa dan menyampaikan maksud  kedatangan kami. Rupanya birokrasi  yang kompleks tidak terjadi di Nida. Atas saran bapak kepala desa kami ditemani seorang pemuda dengan perawakan kecil yang belakangan kami tahu namanya Nimus. Setelah menyeruput habis kopi Nida, kami pamit. Arloji di tanganku menunjukkan pukul 13.05 wita. Artinya sekitar pukul 15.05 kami akan sampai di Lesu Golo. Masing-masing orang dengan bawaannya sendiri. Tapi yang paling full pikulannya adalah saudara Wilfriduz. Dia harus bertanggungjawab atas kemah dan ransum. Belum lagi 1 ekor ayam diikatkan pada ranselnya.
Bunga Langkah

Baru keluar kampung seratusan meter kami temui sejenis bunga unik berwarna ungu. Sepintas seperti bunga raflesia arnoldi yang pernah kulihat dalam buku pelajaran semasa sekolah dulu. Kembali aksi fotopun berlangsung. Kali ini sang bunga ungu yang jadi obyek.
Capek tp masih sempat narsis!
Perjalanan dilanjutkan. Langkah kaki masih gagah. Lututpun masih tegak berdiri menahan beban. Medan yang dilalui masih datar, ada ladang dan pondok masyarakat yang terlihat. Setengah jam perjalanan, kami berhenti sejenak di bawah pohon asam tua. Di depan kami tergambar jelas medan menanjak seratusan meter yang harus kami taklukan. Air mineral kemasan sudah berkurang dari botolnya. Isinya sedikit demi sedikit pindah ke usus dan lambung yang empunya.
Tanjakan pertama mau tak mau ditempuh. Tidak ada pilihan lain. Itu jalan satu-satunya ke Lesu Golo. Saya berjalan paling belakang, biar bisa leluasa memotret teman-teman tanpa mereka ketahui. Beberapa kali kami harus beristirahat di tengah tanjakan, mengipas-ngipas badan atau mengelap keringat yang mulai bercucuran. Dua puluhan menit mendaki sampailah kami di sebuah ladang yang rata. Ladang ini ditanami jagung oleh pemiliknya. Ada juga pohon jambu mente  dan pepaya dengan buah yang sudah masak di seberang sana. Kami memutuskan untuk istirahat lagi, persis di depan sebuah pondok. Beberapa warga lokal menyapa kami dengan ramah, keramahan yang tulus tanpa ada intrik. Ada yang menawari kami air, ada yang menawari kami pisang masak.
..diskusi tentang kehidupan..
Semuanya diterima dengan tangan terbuka (mumpung ada yang enak, bro!”) Sepasang petani menawarkan kami beristirahat di pondoknya “ada jagung muda di sana, Pak!’ tapi kami tidak bisa menerima tawaran tulus itu. “Biarlah cukup disini saja, Om!kami harus sampai di Lesugolo sebelum sore!”jawabku sambil mengangkat ranselku yang beratnya sekitar 30-an kilogram. Setelah diskusi sama istrinya, bapak itu memutuskan untuk ikut bersama kami ke Lesugolo. Malahan dia menugaskan seorang remaja tanggung membantu membawakan tenda yang sejak tadi di pundak wilfriduz. Maka jadilah kami bertujuh dalam ziarah ke Lesugolo. Perjalanan dilanjutkan. Rasa lelah berkurang setelah beristirahat tadi.  Om Arnold, nama bapak itu, mulai bercerita tentang Lesugolo. Katanya rombongan kami merupakan rombongan kesekian yang datang ke Lesugolo. Tapi kami adalah rombongan ‘orang luar’ pertama yang ke Lesugolo hanya untuk berekreasi dan treking. Mereka yang sebelumnya datang dengan misi ilmiah dan mulia. Ada yang mengadakan penelitian panas bumi untuk pembangkit listrik, ada yang mengadakan survey buat lokasi wisata unik. Tapi ada juga yang bombastis menjanjikan jalan aspal mulus membelah kebun ke Lesugolo, bahkan janji kereta gantung antar bukit untuk memudahkan mobilisasi. Kami manggut-manggut saja. Tidak bisa berpikir lagi karena fisik mulai drop. Dalam hati saya terenyuh. Kasihan warga dikasih janji-janji surga.
Kami memilih sebuah pondok petani untuk beristirahat. Sepertinya ini pondok terakhir sebelum kawasan lesugolo. Om Arnold yang ramah menunjuk arah lembah yang harus kami lewati sebelum masuk Lesugolo. “sebentar lagi akan sampai,pak!” kata om Arnold datar.  Rastanuz meminta izin sama om Arnold mengambil beberapa batang tebu untuk dimakan sebagai pengusir rasa dahaga.”ambil saja, pak! Itu milik kita. Ini kebun saudara saya!” Rastanuz dengan lincahnya mengambil 3 batang tebu. Cukup buat rombongan yang memang lagi haus.
Jalan terjal dan menurun menuju lembah. Ini menjadi lebih sulit karena otot hamstring harus menahan beban. Untung tidak seberapa jauh. Di depan kami sudah terlihat sungai dengan airnya yang jernih. Sungai ini unik karena mengalir di dua sisi cadas yang menyerupai selokan.
selokan cadas..
Airnya tenang dengan sedikit riakan. Kami melintasi cadas memanjang dan kembali melompat di ujung cadas. Sungai yang tenang tadi kembali mengalir deras dan melebar. Persis sebelah kiri kami melangkah ,ada bukit cadas setinggi duapuluhan meter, membuat saya merasa ngeri kalau terjadi gempa bumi tiba-tiba. Tapi kekuatiran itu ditepis jauh-jauh. Karena kematian adalah sepenuhnya milik Tuhan, kita manusia hanya mengisi hidup dengan berbuat baik.
Seratusan meter kami menyusuri sungai. Kami akhirnya sampai di Lesugolo-tempat menyemburnya air panas bumi dari dua buah batu. Jam menunjukan pukul 17.10 wita. Artinya perjalanan kami memakan waktu 4 jam lebih 5 menit. Terbukti kalau perjalanan ini menjadi lebih panjang buat ‘orang kota’ seperti kami. Tidak apa-apa karena kami tiba dengan selamat di lesu Golo “makasih Tuhan!!”
Lesugolo...air panas bumi yang menyembur dari sebuah batu
Beberapa bawaan kami taruh di pinggir kali. Hanya tas kamera yang dijinjing. Semua mendekat di seputaran semburan. Kali ini aksi selfies alias foto diri semakin menjadi-jadi. Om Arnold, Nimus dan si remaja tanggung hanya tersenyum melihat aksi para artis dadakan. Lesu golo adalah nama yang umum buat lokasi panas bumi ini. Tapi sebenarnya terdapat dua lokasi semburan air panas. Yang pertama Lesugolo sendiri dan Watu Sombolou. Lesugolo letaknya di dalam sungai, dengan batu setinggi sekitar 75cm yang menyemburkan air panas. Sedangkan Watu Sombolou merupakan batu cadas besar yang juga dari dalamnya keluar air panas. Letak kedua batu ini tidak berjauhan. Temperatur air sekitar 40 derajad celcius.
Watu Sombolou dengan semburan air panasnya
Setelah puas foto-foto, kami mencari lokasi buat kemping. Hanya ada satu lokasi yang datar yang bisa kami dirikan kemah. Itupun hanya pas buat dua kemah yang kami bawa. Tenda didirikan di atas pasir kali, sangat riskan kalau tiba2 ada angin. Yang bertugas menyiapkan makan malam mulai beraksi. Ada yang cari kayu bakar buat panggang ayam, ada yang masak air buat minum sore.
Malam menjelang di Lesugolo, kopi sore sedang diseruput. Batang demi batang rokok habis diisap. Kami duduk melingkar di tengah api unggun, bercerita tentang perjalanan dan keunikan Lesugolo. Tidak ada canggung dan segan, tidak ada jarak dan perbedaan harkat diantara kami. Semua menyatu dalam satu semangat menyayangi alam. Dalam kebersamaan itu ada pertanyaan kritis yang terucap:”sampai kapankah potensi ini dibiarkan tidur lelap?” Om Arnold, Nimus dan semua warga desa merindukan Lesugolo dikelolah secara baik, dimaksimalkan potensinya untuk kehidupan manusia dan akhirnya dirasakan oleh warga sekitar. Sepertinya pesan ini dititipkan pada kami yang akan pulang ke kota atau yang diyakini punya relasi dengan orang Jakarta sana. Tapi saya malah takut kehilangan keaslian Lesugolo. Takut dirusak oleh buldozer yang membuka jalan atau oleh kereta gantung yang dijanjikan bigboss dari jakarta sana. Saya dan om Nimus rupanya berbeda pendapat mengenai potensi Lesugolo. Buat saya biarkan Lesugolo diselimuti kesunyiannya seperti saat ini dan menunggu kunjungan dari mereka yang tahu menghargai karunia Tuhan, tidak perlu dirusak dengan alasan energi alternatif dari kerak bumi yang membara. Cerita kami berlanjut..semakin tajam dengan satu dua tetes arak lokal dan ayam panggang. Waktu berlalu..Tak disangka sang kantuk memanggil tubuh yang letih ke kemah, merebahkan diri dalam selimut kesunyian..
Embun pagi menyapa mengakiri mimpi malamku yang tak utuh. Pagi ini kami mandi di Lesugolo. Makan pagi dan packing menjadi aktivitas terakhir. Kami pulang dalam suasana suka cita. Tidak saja karena liarnya alam Lesugolo bisa ditaklukan tapi karena kami diberi kesempatan untuk merasakan indahnya karunia sang khalik. Selamat tinggal keunikan, sampai ketemu di hari mendatang.
Foto Bareng


* Rute ke Lesu Golo: Ende-Wologai-Detukeli-Nida(dusun Nuamuri) Jarak sekitar 60km

* Kategori: hard trekking




.