Tanpa disadari pertanyaan
yang paling sering muncul dalam kehidupan manusia ialah “benarkah?” Manusia sering
heran. Manusia juga selalu ragu-ragu. “Benarkah orang Moni(Kelimutu) pandai
bahasa Inggris?” atau “Benarkah tulisanku bagus?” Ternyata dalam setiap pertanyaannya
manusia mau menuju kebenaran. Kebenaran selalu dinantikan oleh setiap
pertanyaan.
“Benarkah Danau Tiwu Sora itu ada??”
Pertanyaan di atas buat
sebagian orang merupakan pertanyaan konyol, apalagi buat teman-teman pembaca
yang mungkin berasal dari daerah sekitar danau ini. Tapi jujur saja,
sebenarnya sejak 30-an tahun lalu pertanyaan ini selalu terbersit dalam hati
penulis. Masih terngiang cerita almarhumah ibuku yang penuh semangat
menceritakan kehidupan sekitar tahun 60-an. Saat masih gadis, ibu tergabung
dalam kelompok Muda Mudi Katolik Gereja Wolowaru. Kelompok ini sangat aktif
dalam kegiatan Gerejaw. Pernah dalam sebuah kegiatan,
kelompok ini beranjangsana ke Detuara. Mereka mementaskan drama “Legenda Tiwu
Sora” dan membawakan koor di Gereja Detuara. Detuara di era itu merupakan pusat
Paroki/Gereja lokal yang berkembang pesat. Tapi anda jangan membayangkan
mereka dengan mudanya ke Detuara. Perjalanan ke Detuara merupakan perjalanan
yang sulit. Akses ke sana hanya melalui jalur tikus. Tidak ada jalan raya. Mereka harus melintasi bukit demi bukit, menyusuri sungai berpacet dan
terbenam di dasar lembah. “Berangkat jam 4 pagi dari Wolowaru dan tiba di
Detuara sore hari” begitu cerita almarhumah.
Walau perjalanan itu sulit tapi membekas dalam
kenangan ibuku. Mungkin karena masa SMA adalah masa paling indah, atau mungkin karena
alasan lain, hanya ibuku yang tahu! Waktu berlalu. Ibuku tak pernah menjelaskan
secara detail Legenda Tiwu Sora yang mereka pentaskan. Padahal saya sangat
ingin mengetahui seperti apa legenda itu. Bahkan saya meyakini kalau Danau
Tiwu Sora itu hanya sebatas legenda usang dari para leluhur suku Lio. Saat itu
Danau Tiwu Sora bagiku antara ada dan tiada. Ada nama dan legendanya tapi tiada
pembuktian kuat yang kasat mata.
Detuara, 5 Desember 2010
Rencana perjalanan dimulai
tanggal 5 Desember 2010. Pak Krispin-seniorku di kantor Dinas Pariwisata Kabupaten Ende menjemput saya
di kolam pemandian air panas Ae Oka Detusoko. Ikut pula Pak Dafro, seorang teman
guru merangkap guide. Jadilah kami bertiga menuju Detuara. Misi kami di hari
minggu itu adalah mengadakan survey kecil tentang danau Tiwu
Sora. Akses ke Detuara sekarang tentu berbeda dengan era tahun 60-an. Saat ini sudah ada
jalan yang digusur pemerintah sekitar tahun 80-an. Tapi jalan itu hanya
dibiarkan begitu saja, tidak ada peningkatan sama sekali. Tidak tahu alasannya
kenapa. Makanya janganlah kaget menghadapi jalan sempit yang mirip kubangan
kerbau atau batu sekepalan tangan berserakkan disana sini. Pengendara wajib
ekstra hati-hati karena jurang dalam di kanan kiri. Yang membuat kita terhibur
hanyalah pemandangan alam pegunungan hijau, yang secara tidak langsung membuat kita
lupa pada jalannya yang berbahaya.
Dua sepeda motor sampai di desa Rate Nggoji.
Suasana desa ini sunyi karena penduduknya masih di gereja. Kami memarkirkan
sepeda motor dan berjalan kaki ke Detuara. Jaraknya sekitar 2 km. Sampai di
desa Detuara kami menuju rumah kepala desa yang persis berada di pinggir kampung.
Beliau menyambut kami dengan sangat ramah. Berbagai informasi digali dan
diperoleh dari pertemuan singkat dengan sang kepala desa. Informasi sudah
diperoleh. Kami harus segera pamit sebelum senja menjemput malam.
Mendung dan hujan jadi teman perjalanan
Hari itu 10 Desember
2010, seperti biasa sekretariat Incita menjadi titik awal perjalanan kami. Tapi
kali ini semuanya di luar prediksi. Sabtu pagi itu cuaca sedang mendung berat.
Hujan diyakini akan segera turun karena awan hitam terlihat semakin tebal.
Beberapa teman yang mau ikut pun belum memastikan kembali partisipasinya ke
Tiwu Sora. Saya mencoba menghubungi nomor hp mereka tapi hanya nomor pak
Krispin dan pak Dafro yang tersambung. Mereka akan segera menuju Detusoko.
Diperkirakan satu jam lagi mereka merapat. Sedangkan handphone Ferdinand,
Wilfriduz, Andy dan Carlos masih sibuk dan susah dihubungi. Jam 09.00 waktu
yang direncanakan untuk memulai perjalanan ke Detuara dan selanjutnya ke Tiwu
Sora. Kami harus lebih cepat sampai ke Detuara karena jarak yang lumayan jauh dari
Detuara ke Tiwu Sora. Pak Krispin dan Pak Dafro tiba tepat jam 09.00 wita
sedangkan empat teman yang lain datangnya belakangan. Semua menenteng
perbekalan dan kelengkapan outdoor. Biar bagaimanapun faktor keselamatan dan
kenyamanan di alam menjadi hal utama buat kami. Setelah pengecekan barang2 yang
wajib dibawa, rombongan meninggalkan sekretariat Incita, menarik gas menuju
Detuara yang berjarak sekitar 20-an kilometer dari Detusoko. Cuaca masih
mendung, sesekali gerimis turun menghiasi perjalanan kami. Jas hujan terpaksa
dikeluarkan dari ransel ketika memasuki dusun Kuruselo Desa Denggarongge. Hujan
turun dengan sangat deras, membuat jarak pandang semakin terbatas. Kami terus
memacu si bebek. Melintasi jalan berlumpur dan jembatan dengan lubang
dimana-mana. Sesekali kami berpapasan dengan para tukang ojek yang mengantarkan
penumpang atau hasil bumi. Kondisi jalan yang buruk dan medan yang beresiko
membuat harga sewa ojek menjadi mahal. Dari cabang Sokoloo ke Detuara harga
ojek bisa mencapai Rp 75.000 dan menjadi lebih mahal kalau si penumpang membawa
barang belanjaan.
Jam 13.30 wita kami sampai di Ratenggoji, desa terakhir
sebelum Detuara. Perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Sepeda motor kami
titipkan di rumah warga. Anda tidak perlu risau dengan sepeda motor anda,
karena warga disini tidak biasa menjahili orang. Tamu yang datang selalu
disambut baik layaknya keluarga sendiri begitupun barang yang dititipkan akan
selalu dijaga. Itulah kearifan lokal yang harus dijaga.
Menuju Tiwu Sora
|
Desa Detuara |
Sekitar pukul 14.15 kami
sampai di rumah kepala desa Detuara. Kami disambut sapaan ramah ibu kades dan
beberapa warga desa. Desa ini terlihat lengang, hanya ada beberapa orang warga
yang beraktifitas di depan rumah. Dari keterangan pak kades akhirnya kami tahu
bahwa berkurangnya jumlah warga karena terjadinya perpindahan penduduk. Warga eksodus
untuk mengubah nasib. Kami
beristirahat sekitar dua jam di rumah pak kades. Kami juga menyempatkan diri makan siang bersama keluarga besarnya (makasih pak kades!)
|
perjalanan dimulai |
Jam 16.00 kami memulai
perjalanan ke Tiwu Sora. Menurut pak kades, jarak Detuara-Tiwu Sora sekitar 20 km.
Hmmmmm, Jarak yang lumayan jauh dengan kontur yang beragam. Saya tidak
memikirkan jarak itu tapi bagaimana menjaga stamina dan langkah biar tidak
cepat lelah. Ada juga kekuatiran karena hari sudah sore, bisa-bisa kami harus
bermalam di tengah hutan yang belum pernah kami kenal. Sekitar satu kilometer
perjalanan, kami harus mendaki sebuah bukit dengan kemiringan sekitar 80
derajad. Belum lagi harus tiarap karena ada pohon besar yang tumbang. Satu demi
satu dari kami bisa menaklukan bukit pertama. Dari ketinggian kami bisa
memandang Desa Detuara yang dikelilingi bukit-bukit dan hutan kemiri.
|
istirahat sejenak |
Kami beristirahat sejenak
di sebuah dusun, Wolowaru namanya. Dusun kecil itu hanya dihuni beberapa kepala
keluarga. Mereka rata-rata petani kemiri. Setelah dirasa cukup istirahatnya, kami
melanjutkan perjalanan. Kontur yang kami lalui masih datar-datar saja. Senda
gurau dan ketawa-ketiwi jadi hiasan wajib perjalanan panjang kami.
Hari sudah mulai gelap.
Senter dan lampu badai dinyalakan sebagai penerangan. Kami memutuskan untuk
terus berjalan menembus pekatnya malam. Dari kontur yang datar masuk ke kontur
menanjak, kembali ke kontur datar lalu masuk ke kontur menurun. Selalu seperti
itu! Untung perjalanan kami dilakukan pada malam hari. Perjalanan malam itu
kurasa lebih ringan karena stamina tidak dikuras teriknya matahari. Saya tidak
bisa membayangkan kalau perjalanan kami ini dilakukan siang hari. Bisa-bisa
semuanya pada mundur karena kelelahan.
Jam menunjukkan pukul
21.30. Beberapa dari kami sudah kelelahan setelah lima jam berjalan. Saatnya
istirahat dan menyiapkan makan malam. Kebetulan ada lokasi di pinggir sungai
yang pas untuk istirahat. Dua ekor ayam disembeli dan dibakar di atas bara api,
nasi ditanak dengan lincah oleh Wilfriduz. 30 menit berselang hidangan makan
malam sudah tersedia di atas daun talas. Makan malam yang berkesan, karena
diterangi api unggun dan dihibur binatang malam..sungguh romantis malam itu.
Atas kesepakatan bersama
kami melanjutkan perjalanan. Tapi kali ini hanya sekedar mencari lokasi yang
pas untuk membentangkan kemah. Lokasi sekitar sungai bukan pilihan bijak untuk
berkemah, apalagi di musim penghujan seperti ini. Setelah berjalan sekitar dua
kilometer kami menemukan tempat yang
tepat buat mendirikan kemah. Kemah didirikan beralas rerumputan. Malam semakin
larut, semua sudah masuk dalam kemah dan terbungkus sleeping bed yang hangat.
Di luar sana terdengar suara guntur bersahutan..Tuhan, semoga malam ini tidak
turun hujan!
Hari kedua: jalan menanjak ke Tiwu Sora
“ayo bangun-bangun. Sudah
jam tujuh!!’ suara lengking Ferdinand mengagetkan semua. Jam menunjukkan pukul 06.00
wita. Skenario Ferdinand tidak mempan. Beberapa dari kami masih enggan keluar
dari hangatnya sleeping bed. Saya putuskan membantu ferdinand menyiapkan
breakfast. Pagi itu menunya sangat minimalis: ABC mocca dan mie kuah. Aroma mie
kuah tercium tajam, semua pada keluar dari sarang mereka. Ada yang cari air
buat cuci muka, ada yang langsung menyambar gelas plastik yang sudah berisi ABC
mocca. Cuaca masih mendung tanpa sinar matahari. Ada sisa tetesan gerimis yang
melekat di dinding kemah dan di dedaunan.
|
istana semalam |
Semua sudah menikmati
makan pagi minimalis. Tenda dan perlengkapan tidur kembali disusun rapi dalam
ransel. Perjalanan ke Tiwu sora dilanjutkan tepat pukul 07.45 wita. Medan
menanjak ketika kami meninggalkan lokasi kemah. Terus menanjak hingga sampai ke
satu-satunya rumah di tengah hutan . Kami mengucapkan salam dalam bahasa Lio.
Ada suara balasan dari dalam rumah. Seorang wanita paruh baya ditemani seekor anak
anjing keluar dari rumah. Kami dipersilahkan duduk dibale-bale yang sekalian
berfungsi sebagai kursi tamu. Wanita itu
bercerita kalau hanya dia, suaminya dan ibu mertuanya yang mendiami wilayah
itu. Mereka terisolir dari dunia luar. Ke Deturia-desa terdekat-mereka harus
berjalan kaki selama 3 jam, sedangkan ke Detuara mereka harus berjalan sejauh
7 jam. Luar biasa!! Tidak bisa saya bayangkan perjuangan mereka bertahan hidup.
Terutama menghadapi situasi sulit tatkala sakit.
Kami menitipkan ransel dan
semua bawaan. Tak lupa semua perbekalan kami diberikan cuma-cuma untuk si
penghuni rumah. Kami tidak bisa berlama-lama dirumah itu. Langkah harus
dipercepat menuju Tiwu Sora. Jalan tanah basah menanjak menjadi warna
tersendiri. Hutan dengan pohon sepelukan tangan memagari kami dari longsoran.
Kami dibuat bingung ketika tiba di persimpangan menuju Deturia. Pak Dafro yang
jadi ‘guide lokal’ tidak bisa menentukan arah ke danau Tiwu Sora. Jalur ini terakhir
dilaluinya sekitar 30 tahun yang lalu, jadi wajarlah kalau beliau sudah agak
lupa. Kami memutuskan memilih jalur kanan. Kalaupun nyasar pilihan satu-satunya
adalah kembali ke titik awal . Kami memasuki tanah kosong tanpa pepohonan.
Di seberang sana terlihat hutan lebat dengan pepohonan tinggi. “Di sana jalan
masuknya! Tidak mungkin salah, Bro!”teriak pak Dafro. Artinya pilihan kami
benar. Kami bersemangat, mempercepat langkah memasuki hutan perawan Tiwu Sora.
|
Danau Tiwu Sora |
|
Tiwu Sora itu Benar-benar Ada!!
Dua ratusan meter
memasuki hutan, kami tiba di sebuah danau nan indah. Disinilah danau Tiwu Sora. danau dengan legenda usangnya. Danau seluas kira-kira tiga hektar itu diliputi suasana sepi dan diselimuti
kabut. Yang terlihat hanya sekawanan bebek hutan yang bermain air dan suara
monyet terdengar dari kejauhan. Ada perasaan lega, puas, syukur!
Pengorbanan jalan kaki sekitar
delapan jam terbayar lunas sudah. Tiwu Sora memang benar-benar ada, tidak hanya
sekedar cerita almarhumah ibuku kala kecil dulu. Cerita masa laluku terjawab.
Keraguanku serta merta pergi dari pikiranku. Di hadapanku kini terbentang indah
sebuah karunia maha pencipta. Karunia yang dibentengi legenda turun temurun.
|
Narsis dulu, bro!! |
Kami mencari posisi untuk
foto selfie dan foto bareng. Moment ini wajib diabadikan. Sayang sekali,
perjalanan kami kali ini hanya membawa kamera handphone. Maklum, waktu itu
diantara kami belum ada yang bisa beli kamera pocket, apalagi DSLR.
|
Air terjun orange |
|
ketika kabut turun |
Jam 10.45 wita, kami
bergegas meninggalkan keangkeran Tiwu Sora. Perjalanan pulang delapan jam harus
kami tempuh. Ada beberapa spot menarik yang kami jumpai. Satu diantaranya
adalah air terjun kecil dengan dinding orangenya. Sayang sekali, batere
handphoneku sudah lowbat sehingga beberapa spot menarik tidak bisa diabadikan.
Langkah semakin lelah.
Otot-otot kaki terasa tegang. Rasa lapar menggerogoti sistem pencernaan. Tidak ada
kios atau warung makan buat beli snack atau air mineral. Yang ada hanya jalan
panjang di tengan hutan. Dalam rasa lapar dan lelah mendera,seorang mama yang berpapasan di jalan memaksa
kami ke rumahnya di dusun Detunaka. Ajakan yang tidak bisa ditolak. Dusun ini
tidak terlihat oleh kami semalam. “makasih Tuhan buat ketulusan mereka!makasih mama buat daging belut asapnya..."
|
sampai jumpa di perjalanan yang akan datang. salam rimba!!!! |
Jam 18.05 kami memasuki
Detuara dengan rasa lelah luar biasa. Untung tidak sempat pingsan! Total
jarak yang ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 40 km dan waktu yang diperluhkan 16 jam. Lumayan
berat medan ini! Jalur ini khusus buat pejalan sejati. Siapkan fisik anda! Rasakan sensasinya!!!
* Rute: Ende-Simpang Sokoloo-Kuruselo/Denggarongge-Ratenggoji-Detuara- Wolowaru-Detunaka-Tiwu Sora
* Kategori: hard treking