Senin, 24 Februari 2014

TIWU SORA "pesona Ende selain Kelimutu"

Tanpa disadari pertanyaan yang paling sering muncul dalam kehidupan manusia ialah “benarkah?” Manusia sering heran. Manusia juga selalu ragu-ragu. “Benarkah orang Moni(Kelimutu) pandai bahasa Inggris?” atau “Benarkah tulisanku bagus?” Ternyata dalam setiap pertanyaannya manusia mau menuju kebenaran. Kebenaran selalu dinantikan oleh setiap pertanyaan.


“Benarkah Danau Tiwu Sora itu ada??”

Pertanyaan di atas buat sebagian orang merupakan pertanyaan konyol, apalagi buat teman-teman pembaca yang mungkin berasal dari daerah sekitar danau ini. Tapi jujur saja, sebenarnya sejak 30-an tahun lalu pertanyaan ini selalu terbersit dalam hati penulis. Masih terngiang cerita almarhumah ibuku yang penuh semangat menceritakan kehidupan sekitar tahun 60-an. Saat masih gadis, ibu tergabung dalam kelompok Muda Mudi Katolik Gereja Wolowaru. Kelompok ini sangat aktif dalam kegiatan Gerejaw. Pernah dalam sebuah kegiatan, kelompok ini beranjangsana ke Detuara. Mereka mementaskan drama “Legenda Tiwu Sora” dan membawakan koor di Gereja Detuara. Detuara di era itu merupakan pusat Paroki/Gereja lokal yang berkembang pesat. Tapi anda jangan membayangkan mereka dengan mudanya ke Detuara. Perjalanan ke Detuara merupakan perjalanan yang sulit. Akses ke sana hanya melalui jalur tikus. Tidak ada jalan raya. Mereka harus melintasi bukit demi bukit, menyusuri sungai berpacet dan terbenam di dasar lembah. “Berangkat jam 4 pagi dari Wolowaru dan tiba di Detuara sore hari”  begitu cerita almarhumah. 
Walau perjalanan itu sulit tapi membekas dalam kenangan ibuku. Mungkin karena masa SMA adalah masa paling indah, atau mungkin karena alasan lain, hanya ibuku yang tahu! Waktu berlalu. Ibuku tak pernah menjelaskan secara detail Legenda Tiwu Sora yang mereka pentaskan. Padahal saya sangat ingin mengetahui seperti apa legenda itu. Bahkan saya meyakini kalau Danau Tiwu Sora itu hanya sebatas legenda usang dari para leluhur suku Lio. Saat itu Danau Tiwu Sora bagiku antara ada dan tiada. Ada nama dan legendanya tapi tiada pembuktian kuat yang kasat mata.


Detuara, 5 Desember 2010 

Rencana perjalanan dimulai tanggal 5 Desember 2010. Pak Krispin-seniorku di kantor Dinas Pariwisata Kabupaten Ende  menjemput saya di kolam pemandian air panas Ae Oka Detusoko. Ikut pula Pak Dafro, seorang teman guru merangkap guide. Jadilah kami bertiga menuju Detuara. Misi kami di hari minggu itu adalah mengadakan survey kecil tentang danau Tiwu Sora. Akses ke Detuara sekarang tentu berbeda dengan era tahun 60-an. Saat ini sudah ada jalan yang digusur pemerintah sekitar tahun 80-an. Tapi jalan itu hanya dibiarkan begitu saja, tidak ada peningkatan sama sekali. Tidak tahu alasannya kenapa. Makanya janganlah kaget menghadapi jalan sempit yang mirip kubangan kerbau atau batu sekepalan tangan berserakkan disana sini. Pengendara wajib ekstra hati-hati karena jurang dalam di kanan kiri. Yang membuat kita terhibur hanyalah pemandangan alam pegunungan  hijau, yang secara tidak langsung membuat kita lupa pada jalannya yang berbahaya. 
Dua sepeda motor sampai di desa Rate Nggoji. Suasana desa ini sunyi karena penduduknya masih di gereja. Kami memarkirkan sepeda motor dan berjalan kaki ke Detuara. Jaraknya sekitar 2 km. Sampai di desa Detuara kami menuju rumah kepala desa yang persis berada di pinggir kampung. Beliau menyambut kami dengan sangat ramah. Berbagai informasi digali dan diperoleh dari pertemuan singkat dengan sang kepala desa. Informasi sudah diperoleh. Kami harus segera pamit sebelum senja menjemput malam.


Mendung dan hujan jadi teman perjalanan

Hari itu 10 Desember 2010, seperti biasa sekretariat Incita menjadi titik awal perjalanan kami. Tapi kali ini semuanya di luar prediksi. Sabtu pagi itu cuaca sedang mendung berat. Hujan diyakini akan segera turun karena awan hitam terlihat semakin tebal. Beberapa teman yang mau ikut pun belum memastikan kembali partisipasinya ke Tiwu Sora. Saya mencoba menghubungi nomor hp mereka tapi hanya nomor pak Krispin dan pak Dafro yang tersambung. Mereka akan segera menuju Detusoko. Diperkirakan satu jam lagi mereka merapat. Sedangkan handphone Ferdinand, Wilfriduz, Andy dan Carlos masih sibuk dan susah dihubungi. Jam 09.00 waktu yang direncanakan untuk memulai perjalanan ke Detuara dan selanjutnya ke Tiwu Sora. Kami harus lebih cepat sampai ke Detuara karena jarak yang lumayan jauh dari Detuara ke Tiwu Sora. Pak Krispin dan Pak Dafro tiba tepat jam 09.00 wita sedangkan empat teman yang lain datangnya belakangan. Semua menenteng perbekalan dan kelengkapan outdoor. Biar bagaimanapun faktor keselamatan dan kenyamanan di alam menjadi hal utama buat kami. Setelah pengecekan barang2 yang wajib dibawa, rombongan meninggalkan sekretariat Incita, menarik gas menuju Detuara yang berjarak sekitar 20-an kilometer dari Detusoko. Cuaca masih mendung, sesekali gerimis turun menghiasi perjalanan kami. Jas hujan terpaksa dikeluarkan dari ransel ketika memasuki dusun Kuruselo Desa Denggarongge. Hujan turun dengan sangat deras, membuat jarak pandang semakin terbatas. Kami terus memacu si bebek. Melintasi jalan berlumpur dan jembatan dengan lubang dimana-mana. Sesekali kami berpapasan dengan para tukang ojek yang mengantarkan penumpang atau hasil bumi. Kondisi jalan yang buruk dan medan yang beresiko membuat harga sewa ojek menjadi mahal. Dari cabang Sokoloo ke Detuara harga ojek bisa mencapai Rp 75.000 dan menjadi lebih mahal kalau si penumpang membawa barang belanjaan. 
Jam 13.30 wita kami sampai di Ratenggoji, desa terakhir sebelum Detuara. Perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Sepeda motor kami titipkan di rumah warga. Anda tidak perlu risau dengan sepeda motor anda, karena warga disini tidak biasa menjahili orang. Tamu yang datang selalu disambut baik layaknya keluarga sendiri begitupun barang yang dititipkan akan selalu dijaga. Itulah kearifan lokal yang harus dijaga.


Menuju Tiwu Sora

Desa Detuara
Sekitar pukul 14.15 kami sampai di rumah kepala desa Detuara. Kami disambut sapaan ramah ibu kades dan beberapa warga desa. Desa ini terlihat lengang, hanya ada beberapa orang warga yang beraktifitas di depan rumah. Dari keterangan pak kades akhirnya kami tahu bahwa berkurangnya jumlah warga karena terjadinya perpindahan penduduk. Warga eksodus untuk mengubah nasib.  Kami beristirahat sekitar dua jam di rumah pak kades. Kami juga menyempatkan diri makan siang bersama keluarga besarnya (makasih pak kades!)
perjalanan dimulai
Jam 16.00 kami memulai perjalanan ke Tiwu Sora. Menurut pak kades, jarak Detuara-Tiwu Sora sekitar 20 km. Hmmmmm, Jarak yang lumayan jauh dengan kontur yang beragam. Saya tidak memikirkan jarak itu tapi bagaimana menjaga stamina dan langkah biar tidak cepat lelah. Ada juga kekuatiran karena hari sudah sore, bisa-bisa kami harus bermalam di tengah hutan yang belum pernah kami kenal. Sekitar satu kilometer perjalanan, kami harus mendaki sebuah bukit dengan kemiringan sekitar 80 derajad. Belum lagi harus tiarap karena ada pohon besar yang tumbang. Satu demi satu dari kami bisa menaklukan bukit pertama. Dari ketinggian kami bisa memandang Desa Detuara yang dikelilingi bukit-bukit dan hutan kemiri.
istirahat sejenak
Kami beristirahat sejenak di sebuah dusun, Wolowaru namanya. Dusun kecil itu hanya dihuni beberapa kepala keluarga. Mereka rata-rata petani kemiri. Setelah dirasa cukup istirahatnya, kami melanjutkan perjalanan. Kontur yang kami lalui masih datar-datar saja. Senda gurau dan ketawa-ketiwi jadi hiasan wajib perjalanan panjang kami.
Hari sudah mulai gelap. Senter dan lampu badai dinyalakan sebagai penerangan. Kami memutuskan untuk terus berjalan menembus pekatnya malam. Dari kontur yang datar masuk ke kontur menanjak, kembali ke kontur datar lalu masuk ke kontur menurun. Selalu seperti itu! Untung perjalanan kami dilakukan pada malam hari. Perjalanan malam itu kurasa lebih ringan karena stamina tidak dikuras teriknya matahari. Saya tidak bisa membayangkan kalau perjalanan kami ini dilakukan siang hari. Bisa-bisa semuanya pada mundur karena kelelahan.
Jam menunjukkan pukul 21.30. Beberapa dari kami sudah kelelahan setelah lima jam berjalan. Saatnya istirahat dan menyiapkan makan malam. Kebetulan ada lokasi di pinggir sungai yang pas untuk istirahat. Dua ekor ayam disembeli dan dibakar di atas bara api, nasi ditanak dengan lincah oleh Wilfriduz. 30 menit berselang hidangan makan malam sudah tersedia di atas daun talas. Makan malam yang berkesan, karena diterangi api unggun dan dihibur binatang malam..sungguh romantis malam itu.
Atas kesepakatan bersama kami melanjutkan perjalanan. Tapi kali ini hanya sekedar mencari lokasi yang pas untuk membentangkan kemah. Lokasi sekitar sungai bukan pilihan bijak untuk berkemah, apalagi di musim penghujan seperti ini. Setelah berjalan sekitar dua kilometer kami  menemukan tempat yang tepat buat mendirikan kemah. Kemah didirikan beralas rerumputan. Malam semakin larut, semua sudah masuk dalam kemah dan terbungkus sleeping bed yang hangat. Di luar sana terdengar suara guntur bersahutan..Tuhan, semoga malam ini tidak turun hujan!


Hari kedua: jalan menanjak ke Tiwu Sora

“ayo bangun-bangun. Sudah jam tujuh!!’ suara lengking Ferdinand mengagetkan semua. Jam menunjukkan pukul 06.00 wita. Skenario Ferdinand tidak mempan. Beberapa dari kami masih enggan keluar dari hangatnya sleeping bed. Saya putuskan membantu ferdinand menyiapkan breakfast. Pagi itu menunya sangat minimalis: ABC mocca dan mie kuah. Aroma mie kuah tercium tajam, semua pada keluar dari sarang mereka. Ada yang cari air buat cuci muka, ada yang langsung menyambar gelas plastik yang sudah berisi ABC mocca. Cuaca masih mendung tanpa sinar matahari. Ada sisa tetesan gerimis yang melekat di dinding kemah dan di dedaunan.
istana semalam
Semua sudah menikmati makan pagi minimalis. Tenda dan perlengkapan tidur kembali disusun rapi dalam ransel. Perjalanan ke Tiwu sora dilanjutkan tepat pukul 07.45 wita. Medan menanjak ketika kami meninggalkan lokasi kemah. Terus menanjak hingga sampai ke satu-satunya rumah di tengah hutan . Kami mengucapkan salam dalam bahasa Lio. Ada suara balasan dari dalam rumah. Seorang wanita paruh baya ditemani seekor anak anjing keluar dari rumah. Kami dipersilahkan duduk dibale-bale yang sekalian berfungsi sebagai kursi tamu.  Wanita itu bercerita kalau hanya dia, suaminya dan ibu mertuanya yang mendiami wilayah itu. Mereka terisolir dari dunia luar. Ke Deturia-desa terdekat-mereka harus berjalan kaki selama 3 jam, sedangkan ke Detuara mereka harus berjalan sejauh 7 jam. Luar biasa!! Tidak bisa saya bayangkan perjuangan mereka bertahan hidup. Terutama menghadapi situasi sulit tatkala sakit. 
Kami menitipkan ransel dan semua bawaan. Tak lupa semua perbekalan kami diberikan cuma-cuma untuk si penghuni rumah. Kami tidak bisa berlama-lama dirumah itu. Langkah harus dipercepat menuju Tiwu Sora. Jalan tanah basah menanjak menjadi warna tersendiri. Hutan dengan pohon sepelukan tangan memagari kami dari longsoran. 
Kami dibuat bingung ketika tiba di persimpangan menuju Deturia. Pak Dafro yang jadi ‘guide lokal’ tidak bisa menentukan arah ke danau Tiwu Sora. Jalur ini terakhir dilaluinya sekitar 30 tahun yang lalu, jadi wajarlah kalau beliau sudah agak lupa. Kami memutuskan memilih jalur kanan. Kalaupun nyasar pilihan satu-satunya adalah kembali ke titik awal . Kami memasuki tanah kosong tanpa pepohonan. Di seberang sana terlihat hutan lebat dengan pepohonan tinggi. “Di sana jalan masuknya! Tidak mungkin salah, Bro!”teriak pak Dafro. Artinya pilihan kami benar. Kami bersemangat, mempercepat langkah memasuki hutan perawan Tiwu Sora. 


Danau Tiwu Sora

Tiwu Sora itu Benar-benar Ada!!




Dua ratusan meter memasuki hutan, kami tiba di sebuah danau nan indah. Disinilah danau Tiwu Sora. danau dengan legenda usangnya. Danau seluas kira-kira tiga hektar itu diliputi suasana sepi dan diselimuti kabut. Yang terlihat hanya sekawanan bebek hutan yang bermain air dan suara monyet terdengar dari kejauhan. Ada perasaan lega, puas, syukur!
Pengorbanan jalan kaki sekitar delapan jam terbayar lunas sudah. Tiwu Sora memang benar-benar ada, tidak hanya sekedar cerita almarhumah ibuku kala kecil dulu. Cerita masa laluku terjawab. Keraguanku serta merta pergi dari pikiranku. Di hadapanku kini terbentang indah sebuah karunia maha pencipta. Karunia yang dibentengi legenda turun temurun.
Narsis dulu, bro!!
Kami mencari posisi untuk foto selfie dan foto bareng. Moment ini wajib diabadikan. Sayang sekali, perjalanan kami kali ini hanya membawa kamera handphone. Maklum, waktu itu diantara kami belum ada yang bisa beli kamera pocket, apalagi DSLR.
Air terjun orange
ketika kabut turun
Jam 10.45 wita, kami bergegas meninggalkan keangkeran Tiwu Sora. Perjalanan pulang delapan jam harus kami tempuh. Ada beberapa spot menarik yang kami jumpai. Satu diantaranya adalah air terjun kecil dengan dinding orangenya. Sayang sekali, batere handphoneku sudah lowbat sehingga beberapa spot menarik tidak bisa diabadikan.
Langkah semakin lelah. Otot-otot kaki terasa tegang. Rasa lapar menggerogoti sistem pencernaan. Tidak ada kios atau warung makan buat beli snack atau air mineral. Yang ada hanya jalan panjang di tengan hutan. Dalam rasa lapar dan lelah mendera,seorang mama yang berpapasan di jalan memaksa kami ke rumahnya di dusun Detunaka. Ajakan yang tidak bisa ditolak. Dusun ini tidak terlihat oleh kami semalam. “makasih Tuhan buat ketulusan mereka!makasih mama buat daging belut asapnya..."
sampai jumpa di perjalanan yang akan datang. salam rimba!!!!
Jam 18.05 kami memasuki Detuara dengan rasa lelah luar biasa. Untung tidak sempat pingsan! Total jarak yang ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 40 km dan waktu yang diperluhkan 16 jam. Lumayan berat medan ini! Jalur ini khusus buat pejalan sejati. Siapkan fisik anda! Rasakan sensasinya!!!




 * Rute: Ende-Simpang Sokoloo-Kuruselo/Denggarongge-Ratenggoji-Detuara- Wolowaru-Detunaka-Tiwu Sora

* Kategori: hard treking

4 komentar:

  1. Salam lestari.... saya Atnan asli Bajawa, tapi lama di Malang.... saya pernah mendengar tentang Tiwu Sora dan ingin kesana.... mungkin saudara bisa memberi petunjuk mengenai transportasi ke arah Tiwu Sora... siapa tau bisa membantu saya menuju ke sana... trmakasih sebelumnya...........

    BalasHapus
  2. Mantappppppppppp.... Wokowaru sai lepa emba?

    BalasHapus
  3. Mantappppppppppp.... Wokowaru sai lepa emba?

    BalasHapus
  4. Mantap Ka'e Herry Wangge dan Profisiat buat bersama Tim,Semoga ini ditata dan dikelolah dengan baik...Oleh Desa dan juga Pemda Kabupaten Ende....
    ๐Ÿ–’๐Ÿ–’๐Ÿ–’

    BalasHapus